Kerinci// MSN,
Suara lantang puluhan siswa pecah di halaman Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 6 Kerinci, Selasa (9/9/2025).
Spanduk-spanduk terbentang di gerbang sekolah, pagar dipasangi poster dengan tulisan tegas: “Ganti Azwardi dari SMAN 6 Kerinci.” Hari itu, suasana belajar tergantikan dengan aksi unjuk rasa yang jarang terjadi di lingkungan pelajar.
Aksi tersebut bukan tanpa alasan. Para siswa mengaku kecewa dengan kepemimpinan kepala sekolah mereka, Ezwardi. Dalam pandangan mereka, sosok yang seharusnya menjadi nahkoda lembaga pendidikan itu dinilai tidak becus, jarang hadir, dan hanya datang ketika ada acara formal tertentu.
“Sejak dijabat Pak Ezwardi, sekolah kami tidak ada kemajuan. Malah makin mundur,” ucap salah seorang siswa dalam orasinya.
Keluhan itu tak berhenti pada sekadar ketidakhadiran. Para siswa menyebut dampak nyata dari lemahnya kepemimpinan, mulai dari menurunnya kedisiplinan, kegiatan ekstrakurikuler yang nyaris lumpuh, hingga hampir gagalnya seorang siswa mengikuti Olimpiade Sains Nasional tingkat provinsi.
Di antara massa aksi, suara Aulia—salah satu siswi kelas XI—terdengar bergetar saat berbicara kepada wartawan. Ia mengaku hampir batal mengikuti Olimpiade Sains Nasional karena kelalaian administratif pihak sekolah.
“Cuma karena beliau tidak peduli, saya hampir gagal ikut lomba yang sudah saya persiapkan sejak lama,” katanya. “Untung ada guru lain yang membantu di detik-detik terakhir.”
Bagi Aulia, pengalaman itu bukan sekadar persoalan lomba. Baginya, kesempatan ikut olimpiade adalah pintu menuju masa depan yang lebih baik. “Kalau sampai batal, saya tidak tahu harus bagaimana. Itu mimpi saya,” tambahnya.
SMAN 6 Kerinci selama ini dikenal sebagai sekolah yang cukup aktif. Kegiatan ekstrakurikuler, mulai dari olahraga, seni, hingga sains, biasanya menjadi kebanggaan siswa. Namun, menurut pengakuan mereka, kondisi berubah sejak kepemimpinan baru berjalan.
“Ekskul di sini hampir tidak jalan. Tidak ada motivasi, tidak ada dukungan,” ujar seorang siswa lainnya. “Kami merasa dibiarkan begitu saja.”
Di balik pagar sekolah yang terkunci dengan gembok buatan siswa, terlihat wajah-wajah muda yang menaruh harapan besar pada perubahan. Mereka sadar, keberanian untuk turun ke jalan bukanlah hal sepele. Namun, bagi mereka, diam berarti menerima kondisi sekolah yang makin terpuruk.
Tuntutan para siswa tidak berhenti di lingkungan sekolah. Mereka meminta Gubernur Jambi dan Dinas Pendidikan Provinsi segera turun tangan.
“Kami ingin kepala sekolah diganti. Kami ingin pemimpin yang benar-benar hadir untuk kami, yang peduli dengan pendidikan kami,” teriak salah satu orator.
Langkah siswa ini mencerminkan keputusasaan mereka terhadap mekanisme internal sekolah. Mereka merasa suara mereka selama ini tak didengar, sehingga aksi publik menjadi pilihan terakhir.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Sekolah Ezwardi belum memberikan keterangan resmi. Pihak sekolah juga belum menanggapi secara terbuka aspirasi para siswa.
Ketidakjelasan ini membuat aksi siswa menjadi sorotan. Bukan hanya soal tuntutan pergantian kepala sekolah, tetapi juga sebagai simbol bahwa generasi muda berani bersuara ketika merasa terabaikan.
Fenomena di SMAN 6 Kerinci membuka mata bahwa sekolah bukan sekadar tempat belajar, melainkan ruang hidup bagi para siswanya. Kepemimpinan yang abai akan berdampak langsung pada motivasi, prestasi, bahkan masa depan peserta didik.
Aksi yang dilakukan siswa mungkin dianggap kontroversial oleh sebagian pihak. Namun, di balik itu tersimpan pesan kuat: generasi muda menolak pasif, mereka menuntut perubahan.
Seorang guru yang enggan disebutkan namanya memberikan komentar singkat, “Siswa hanya ingin perhatian. Mereka ingin sekolah ini kembali hidup. Itu saja.”
Meski gerbang sekolah disegel, para siswa berharap pintu dialog terbuka. Mereka ingin pemerintah mendengar suara mereka, bukan hanya melihat aksi mereka.
“Kami bukan musuh sekolah, kami justru mencintai sekolah ini,” kata Aulia menutup pembicaraan. “Makanya kami berani turun ke jalan. Kami ingin sekolah kami lebih baik.” haranya.
(Rama).